Genz.co.id – Merek dagang merupakan tulang punggung identitas bisnis. Ketika sebuah nama menjadi pengenal produk, ia bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan hak hukum yang dilindungi negara. Namun, bagaimana jika suatu merek tersebut digunakan tanpa hak?
Namun, berdasarkan penelusuran di situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), merek mobil listrik DENZA belum terdaftar atas nama produsen kendaraan tersebut, justru terdaftar atas nama pihak lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah entitas ini telah melanggar hak atas merek pihak lain?
Rocky Marbun, pakar pidana, menegaskan bahwa tindakan menggunakan merek tanpa hak dapat dikenai sanksi pidana hingga lima tahun penjara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 100 ayat (1) dan (2) UU MIG. Pasal 100 ayat (1) UU MIG menyebutkan "Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Sementara itu, pada Pasal 100 ayat (2) UU MIG menyebutkan “Setiap orang yang tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain dan terbukti di pengadilan maka tersangka akan diancam hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar,” ungkapnya. Lebih lanjut, Rocky Marbun menjelaskan berkaitan dengan unsur “...tanpa hak....”—pada Pasal 100 ayat (1) UU Merek dan Indikasi Geografis, adalah adanya perbuatan yang menggunakan suatu merek namun tidak memiliki legal standing dalam penggunaannya dan/atau dapat pula berbentuk menggunakan merek yang telah didaftarkan atas nama subyek hukum lain.
Lantas, bagaimana dengan DENZA? Jika memang benar belum memiliki hak atas merek yang digunakan, maka ini bisa menjadi potensi sengketa hukum yang serius. Karena, apabila suatu merek telah didaftarkan dan dimiliki oleh pihak lain, maka penggunaan oleh entitas lain tanpa izin (tanpa hak) dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kekayaan Intelektual, baik yang berakibat adanya sengketa keperdataan (gugatan) maupun berakibat pelaporan pidana.
Lebih lanjut Rocky Marbun (Pakar Hukum Pidana) menjelaskan, Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tersebut, merupakan norma hukum yang secara inheren mengandung konsep Kesengajaan. Artinya, ketika suatu norma hukum tidak ditulis dengan tegas frasa “...dengan sengaja..”, maka dengan sendirinya, norma hukum tersebut bermaksud bahwa penggunaan merek tanpa hak adalah memang merupakan suatu kesengajaan berdasarkan kesadaran dari pelaku, dan tidak dapat disebabkan karena kelalaian atau ketidaktahuan. Sehingga, pelaku pengguna hak merek yang terdaftar atas nama orang lain, tidak dapat berasakan karena kelalaian atau karena ketidaktahuan.
Dugaan pelanggaran merek ini hendaknya menjadi pengingat bahwa memahami hukum bukan pilihan—melainkan kewajiban. Kepatuhan pelaku usaha untuk mendaftarkan merek sebelum menjalankan usahanya akan meminimalisir risiko sengketa hukum di kemudian hari dan memperkuat posisi usaha secara hukum dan reputasi.